LINGKUNGAN
BISNIS YANG MEMPENGARUHI PERILAKU ETIKA
Bisnis melibatkan
hubungan ekonomi dengan banyak kelompok orang yang dikenal sebagai
stakeholders, yaitu: pelanggan, tenaga kerja, stockholders, suppliers, pesaing,
pemerintah dan komunitas. Oleh karena itu para pebisnis harus
mempertimbangkan semua bagian dari stakeholders dan bukan hanya stockholdernya
saja. Pelanggan, penyalur, pesaing, tenaga kerja dan bahkan pemegang saham
adalah pihak yang sering berperan untuk keberhasilan dalam berbisnis.
Lingkungan bisnis yang mempengaruhi etika adalah lingkungan makro dan
lingkungan mikro. Lingkungan makro yang dapat mempengaruhi kebiasaan yang tidak
etis yaitu bribery, coercion,
deception, theft, unfair dan discrimination. Maka dari itu dalam perspektif mikro,
bisnis harus percaya bahwa dalam berhubungan dengan supplier atau vendor,
pelanggan dan tenaga kerja atau karyawan.
Sebagai bagian dari
masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata
hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta
etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama
pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung
maupun tidak langsung. Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu
dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola
hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara,
tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan
dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia
itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang
melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan
dibidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait
begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak
yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha
belum mendapatkan perhatian yang seimbang.
Pelaku bisnis
dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk
“uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk
menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess
demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan
tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat
ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu
mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap
masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian
terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan,
pemberian latihan keterampilan, dll.
Perkembangan dalam
etika bisnis dibagi menjadi 5 periode yaitu sebagai berikut : 1) Situasi
Dahulu : Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf
Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama
dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus
diatur, 2) Masa Peralihan tahun 1960-an : ditandai pemberontakan terhadap kuasa
dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis),
penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi perhatian pada
dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru
dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering
dibahas adalah corporate social responsibility, 3) Etika Bisnis Lahir di AS
tahun 1970-an : sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah
etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat
atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di AS, 4) Etika Bisnis
Meluas ke Eropa tahun 1980-an : di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru
mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara
akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business
Ethics Network (EBEN), 5) Etika Bisnis menjadi Fenomena Global tahun 1990-an :
tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di
seluruh dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics,
and Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.
Dalam menjalankan
profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi
dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan
Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman
kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga
dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau
sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya,
tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian
pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi. Akuntansi
sebagai profesi memiliki kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan
mengikuti etika profesi yang telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai
profesional mempunyai tiga kewajiban yaitu; kompetensi, objektif dan
mengutamakan integritas. Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan
bebarapa kasus serupa lainnya telah membuktikan bahwa etika sangat
diperlukan dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak
akan berfungsi dengan baik. Kita harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis,
dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau
nilai shareholder. Tetapi kalau hal
ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan. Banyak
orang yang menjalankan bisnis tetapi tetap berpandangan bahwa, bisnis tidak
memerlukan etika.
KESALING-TERGANTUNGAN ANTARA BISNIS DAN
MASYARAKAT
Alam telah
mengajarkan kebijaksanaan tentang betapa hubungan yang harmonis dan
kesalingtergantungan itu adalah amat penting. Bumi tempat kita berpijak, masih
setia bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim dan secara tim dengan
planet-planet lain, namun penghuninya kebanyakan telah berjalan sendiri-sendiri.
Manusia yang konon khalifah di bumi, merasa sudah tidak membutuhkan manusia
lainnya. Bukanlah kesalingtergantungan yang dibina, melainkan ketergantungan
yang terus diusung.
Kesalingtergantungan
bekerja didasarkan pada relasi kesetaraan, egalitarianisme. Manusia
bekerjasama, bergotong-royong dengan sesamanya memegang prinsip kesetaraan.
Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika manusia terlalu percaya kepada
keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu keunggulan ras, agama, suku,
ekonomi dsb.
Wajah Indonesia
yang carut marut dewasa ini adalah karena terlalu membuncahnya subordinasi
relasi manusia atas manusia lain. Negara telah dikuasai oleh jenis manusia yang
memiliki mentalitas pedagang. Pucuk kekuasaan telah disulap menjadi lahan
bisnis, dimana dalam dunia bisnis maka yang dikenal adalah tuan dan budak,
majikan dan buruh. Dalam hal ini, yang tercipta adalah iklim ketergantungan,
bukan kesalingtergantungan.
Di negara
lain, kelas proletar yang dahulu diperjuangkan, toh setelah meraih kekuasaan,
pada gilirannya ia menjelma menjadi kelas yang istimewa, yang rigid terhadap
kritik. Hukum diselewengkan, dan bui menjadi jawaban praktis bagi para oposan.
Proletar melakukan kesalahan yang sama dengan borjuis yang dilawannya
habis-habisan.
Jika borjuis
menggunakan sentimen agama untuk mengelabui rakyat jelata, maka proletar
menganggap agama sebagai candu rakyat. Yang satu mengatasnamakan agama, yang
lainnya mengatasnamakan rakyat miskin. Namun keduanya memiliki tujuan yang
sama: kekuasaan. Kekuasaan negara, dan juga agama telah menjadi petualangan
bisnis, dimana siapa saja yang berkuasa maka kekayaan hendak menumpuk dalam
istananya dengan benteng menjulang, sementara secuil saja kekayaan yang
dinikmati mereka yang bekerja keras.
Di abad yang
lalu, orang-orang Eropa yang
berasal dari Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis mengunjungi Asia termasuk
negeri ini muasalnya bertujuan untuk berdagang dengan penduduk setempat. Mereka
melakukan kerjasama bisnis dengan penduduk lokal dan beberapa elit penguasa.
Pada mulanya mereka menikmati peran sebagai partnerbisnis, lambat
laun peran ini dianggap tidak lagi menarik. Mereka pun berubah menjadi majikan,
dan kelak menjajah dan memperbudak bangsa ini hingga ratusan tahun untuk
mempertahankan posisi itu dan menciptakan ketergantungan penduduk lokal kepada
mereka. Rupanya peran yang belakangan lebih menarik dan lebih menantang.
Perbudakan
adalah sesuatu yang tidak alami, menyalahi takdir sebagai manusia. Setiap
manusia berhak atas kebebasan. Namun pola perbudakan semacam itu kiranya tidak
lekang oleh zaman,. meski bentuknya diubah sedikit supaya lebih beradab.
Perbudakan dewasa ini lebih modern, kendati tetap ditempuh dengan cara-cara
yang zalim.
Apalagi di
Indonesia yang masyarakatnya kebanyakan beragama bukan karena kesadaran
melainkan telah ditentukan orangtua sejak lahir, maka agama lagi-lagi merupakan
alat yang nyaris selalu laris untuk memuluskan tujuan-tujuan tersebut. Lembaga
keagamaan dan negara berkonspirasi untuk memperbudak jiwa manusia.
Di negeri ini,
berapa banyak fatwa mufti negara, undang-undang dan peraturan daerah bernuansa
agama yang tidak masuk akal yang menghendaki rakyat senantiasa bergantung
kepada mereka? Keadaan demikian menciptakan kericuhan di dalam masyarakat
akibat hiperregulasi, karena tingkat kepatuhan masyarakat menurun. Keamanan
menjadi barang yang mahal. Kepergian para investor karena merasa tidak aman memperparah perekonomian Indonesia.
Dalam keadaan collapse akhirnya kita memiliki ketergantungan yang tinggi kepada
negara luar. Kucuran dana negara asing kepada kita bukanlah sesuatu yang
gratis. No free lunch. Dana punia dan pinjaman mereka seraya mendesakkan
kepentingan dan agenda mereka, tidak bisa dipungkiri. Barangkali Paman Sam
dengan kapitalismenya, maka Arab Saudi yang setia dengan garis iman Wahhabi
tentunya akan mendesakkan agenda mereka kepada Indonesia.
Pemikiran-pemikiran sekuler Barat yang telah merasuki dunia Islam misalnya, dengan
ideologi kapitalisme yang mengurung sendi-sendi perekonomian umat Islam telah
menjadikan dunia Islam menjadi terpuruk dengan ketergantungan yang tinggi
terhadap Barat. Sebagai jalan keluar, sebagian orang sering
mengalami eskapisme untuk memasuki dunia “pasti” yang menentramkan hati. Jalan
yang diambil adalah dengan penyerahan diri kepada sebuah “otoritas
transedental” (baca: otoritas mufti negara) yang menjanjikan kesenangan
eskatologis.
Sebagian yang
lain meresponnya dengan melakukan tindakan-tindakan anarkis dan vigilantisme.
Seperti pernah dituturkan Amrozi dalam Koran Tempo tahun 2003, peledakan bom
Bali adalah untuk menjaga kehidupan beragama
Pola relasi
negara kita dengan negara luar layak dibenahi. Bangsa kita harus memiliki
keberanian yang cukup untuk bisa pula mendesakkan cita-cita negara kita sesuai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kepada mereka. Bangsa kita harus
memiliki nyali yang cukup untuk menolak agenda mereka yang bisa merusak
kemerdekaan yang telah susah payah diraih. Hubungan luar negeri kita harus
berubah dari ketergantungan, menjadi kesalingtergantungan, sebagai
bangsa-bangsa yang sejajar dan sederajat. Kemerdekaan dan kebebasan saja belum
cukup, namun saat ini penting kemerdekaan untuk hidup merdeka, kebebasan
untuk hidup bebas.
Setiap orang warga negara
ini, bahkan warga seluruh dunia memiliki kebutuhan individu. Kebutuhan akan
makan, tempat tinggal yang nyaman, pekerjaan dsb sejatinya bukanlah kebutuhan
individu atau segelintir orang saja, melainkan seluruh orang yang hidup di
dunia ini membutuhkannya. Setiap orang tidak akan
mampu mencukup kebutuhannya sendiri tanpa semangat gotong-royong,
kesalingtergantungan, kerjasama, kolaborasi dengan orang lain.
KEPEDULIAN PELAKU BISNIS
TERHADAP ETIKA
Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas
di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas 4 sampai
ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi
yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi
adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan
bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan
segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya
diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok.
Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika dan
nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.
Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama
bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi
syariah selama ini masih cenderung pada sisi "emosional" saja
dan terkadang mengkesampingkan konteks bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari
ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah.
Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak "mengenal"
sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis
tersebut, Rukmana mengakui beberapa pelaku usaha memang sudah ada yang mampu
menerapkan etika bisnis tersebut. Namun, karena pemahaman dari masing-masing
pelaku usaha mengenai etika bisnis berbeda-beda selama ini, maka
implementasinyapun berbeda pula, Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang
atau sekelompok orang sangat tergantung pada kualitas sistem
kemasyarakatan yang melingkupinya. Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat
mencoba mengendalikan kualitas etika dan moral mereka, tetapi
sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem
kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu
dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika
dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia.
Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat
perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan
bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para
pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan
moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah
pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah
yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah
kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia.
Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali
menyebabkan kebanyakan orang Indonesia 5 tidak bisa membedakan antara perbuatan yang
semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan
yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali
tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan
moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah
didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak,
pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
PERKEMBANGAN DALAM ETIKA BISNIS
Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, plato,
aristoteles, dan filsuf – filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya
mengatur kehidupan manusia bersama dalam Negara dan membahas bagaimana
kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
Masa Peralihan Tahun 1960-an
Ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan
otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis),
penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini member perhatian pada
dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru
dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering
dibahas adalah corporate social responsibility.
Etika Bisnis Lahir di AS Tahun 1970-an
Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam
memikirkan masalah – masalah etis sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap
sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunis
bisnis di AS.
Etika Bisnis Meluas ke Eropa Tahun 1980-an
Di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu
baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan
antara akademis dari Universitas serta sekolah bisnis yang disebut European
Business Ethics Network (EBEN)
Etika Bisnis Menjadi Fenomena Global Tahun 1990-an
Tidak terbatas lagi pada dunia barat.
Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telag didirikan Intenational
Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25-28Juli 1996 di
Tokyo.
ETIKA BISNIS DAN AKUNTAN
Amerika Serikat yang
selama ini dianggap sebagai Negara super power dan juga kiblat ilmu pengetahuan
termasuk displin ilmu akuntansi harus menelan kepahitan. Skandal bisnis yang
terjadi seakan menghilangkan kepercayaan oleh para pelaku bisnis dunia tentang
praktik Good Corporate Governance di Amerika Serikat.
Banyak perusahaan
yang melakukan kecurangan diantaranya adalah TYCO yang diketahui melakukan
manipulasi data keuangan (tidak mencantumkan penurunan aset), disamping
melakukan penyelundupan pajak. Global Crossing termasuk salah satu perusahaan
terbesar telekomunikasi di Amerika Serikat dinyatakan bangkrut setelah melakukan
sejumlah investasi penuh resiko. Enron yang hancur berkeping terdapat beberapa
skandal bisnis yang menimpa perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat.
Worldcom juga merupakan salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di
Amerika Serikat melakukan manipulasi keuangan dengan menutupi pengeluaran
US$3.8 milyar untuk mengesankan pihaknya menuai keuntungan, padahal
kenyataannya rugi. Xerox Corp. diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan
menerapkan standar akunting secara keliru sehingga pembukuan perusahaan
mencatat laba US $ 1.4 milyar selama 5 tahun. Dan masih banyak lagi.
Sumber:
http://inigalih.blogspot.com/2011/10/perilaku-etika-dalam-bisnis.html